Tugas : Agama
PERANAN ULAMA DALAM USAHA MELAWAN PENGARUH
PENJAJAHAN DI INDONESIA
Di
susun oleh:
MUCHRISAL
201451064
SISTEM INFORMASI (GENAP)
SEKOLAH TINGGI ILMU MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER
(STIMIK) BINA BANGSA
KENDARI
2014-2015
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Sejarah
perjuangan bangsa Indonesia merupakan bahan renungan yang amat berharga,
terutama sekali bagi kaum Muslim Indonesia. Sejak zaman prakebangkitan
nasional, disusul lagi dengan zaman pergerakan merintis kemerdekaan hingga era
Revolusi Fisik, selalu ditemukan orang-orang yang berani mempertaruhkan jiwa
dan raga untuk bangsa dan negaranya. Dengan menyimak sejarah itu, ternyata yang
menjadi tulang punggung perjuangan bangsa adalah orang-orang yang tidak hanya
berkemampuan pemikiran intelektual, melainkan cenderung pada manusia-manusia
takwa. Kesadaran mereka sebagai hamba Allah Tuhan Yang Mahaesa, mampu
menjadikannya ikhlas berkorban. Mereka tidak memperhitungkan untung rugi secara
matematis maupun ekonomis, melainkan penghayatan dan pengamalan terhadap tuntutan
agamanya secara intensif yang membuatnya ikhlas berkorban.
Dalam hal ini, para ulama dan para kyai mempunyai
pengaruh yang sangat besar. Terlebih karena sifat pendidikan agama di
pesantren, pondok atau madrasah yang mengarah pada orientasi vertical kalangan
santri kepada para gurunya – yanga dalam filosofis diartikan harus di “gugu”
dan di ”tiru” – menyebabkan pengaruh kewibawaan para ulama dan kyai sangat
besar. Karena itulah, dlam menjangkau perspektif pembangunan politik di
Indonesia dalam arti yang seluas-luasnya, para ulama sangat berperan.
Peranan itu tentu saja mulai dimainkan sejak Islam
diajarkan di seluruh tanah air, hingga sampai melewati masa penjajahan oleh
bangsa asing. Pada masa penjajahan itulah, para ulama mulai memainkan peranan
multifungsi, tidak hanya dalam bidang pengajaran ilmu agama, melainkan juga
dalam bidang politik dan militer. Walaupun pada dasarnya peranan dalam bidang
politik dan pendidikan ini telah dijalankan pada masa kerajaan-kerajaan Islam
dahulu, namun perjuangan itu selalu berkembang dalam segala bidang seiring
dengan tuntutan kondisi dan situasi. Oleh karena itu, penulis mencoba untuk
mengulas sedikit tentang peranan ulama dalam melawan penjajahan di Indonesia
yang tentu saja tidak sedikit mendapat ancaman dari pihak penjajah dengan
berbagai usahanya.
2. RUMUSAN MASALAH
- Apa saja peranan ulama dalam usaha melawan
pengaruh penjajahan di Indonesia?
- Apa usaha pihak penjajah Belanda dan Jepang
dalam menghadapi kekuatan umat Islam di masa pendudukannya?
3. TUJUAN
- Mengetahui peranan ulama dalam usaha melawan
pengaruh penjajahan di Indonesia.
- Mengetahui usaha-usaha pihak penjajah Belanda
dan Jepang dalam menghadapi kekuatan umat Islam di masa pendudukannya.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Peranan
Ulama dalam Usaha Melawan Pengaruh Penjajahan di Indonesia
Masuknya agama Islam ke Indonesia
memberikan pengaruh yang mengakibatkan munculnya kelompok baru yang disebut
ulama dan santri, yang kemudian oleh penguasa asing ingin dijauhkan dari
pengaruh politik.
Pandangan dan cara hidup Islam yang
memunculkan ulama dengan pesantrennya, dinyatakan tidak hanya dengan mengadakan
perubahan sosial saja, tetapi lebih cenderung menumbuhkan revolusi sosial
sebagai perubahan yang radikal dan meluas yang berdasar pada perubahan sikap
mental. Arus perubahan seperti ini pada gilirannya mendapatkan tantangan baru,
yakni adanya agresi perdagangan dan agama yang dilancarkan oleh imperialis
Barat. Menjawab tantangan ini, para ulama bekerja keras untuk membina
santri-santrinya agar memiliki sikap combative spirit (semangat siap
tempur). Pesantren yang tadinya merupakan lembaga pendidikan, bertambah
fungsinya sebagai tempat kegiatan membina pasukan sukarela yang akan
disumbangkan untuk mempertahankan negara, bangsa dan agama.
Gerakan sosial yang dipimpin oleh
para ulama pernah berbelok menjadi gerakan Ratu Adil. Hal ini disebabkan karena
runtuhnya wibawa raja-raja atau pemerintahan pribumi yang didukungnya, sehingga
umat Islam merasa tidak lagi memiliki pemerintahan yang patut dipatuhi.
Kalangan petani miskin yang hidup dalam alam feodal merupakan kelompok
masyarakat tertindas. Satu-satunya pemimpin yang dianggap mampu dan masih
memihak kepada kepentingannya adalah ulama.
1.1 Ulama Sebagai Pelopor Pembaharuan
Setelah Islam tersebar dan akhirnya mulai menjadi way
of life bangsa Indonesia, maka konsep ajaran Hindu yang asli mulai
ditanggalkan. Hukum syariat menjadi landasan dasar kesultanan di Indonesia dan
para ulama menduduki berbagai jabatan penting.
Pemunculan kelompok ulama ini bukanlah hasil dari voting
(pemilihan suara) atau dari pengaruh karisma raja, tetapi lahir dari
perkembangan Islam itu sendiri yang memandang ulama sebagai kelompok
intelektual Islam, dan tampaknya telah menjadi watak dasar bangsa Indonesia
yang selalu mengangkat kalangan berilmu sebagai pemimpinnya. Kehadiran ulama
dalam masyarakat telah diterima sebagai pelopor pembaharuan, dan pengaruh ulama
pun semakin mendalam setelah berhasil membina pesantren.
Ternyata pesantren tidak hanya merupakan lembaga pendidikan,
tetapi juga merupakan lembaga penyemaian kader-kader pemimpin rakyat, sekaligus
berfungsi sebagai wahana merekrut prajurit sukarela yang memiliki keberanian
moral yang tinggi. Di hatinya telah ditanamkan ajaran jihad untuk membela
agama, Negara dan bangsa dengan harta, ilmu, dan jiwanya. Keyakinan ajaran yang
dijiwai Islam ini merupakan faktor psikologis yang sangat penting dalam
menghadapi apapun. Dengan demikian bagi seorang penguasa memeluk agama Islam
akan mendapat dua keuntungan, yaitu para ulama kedudukannya dikukuhkan sebagai
Pangeran Muslim, dan memperoleh dukungan dari rakyat serta memiliki pasukan
sukarela yang memiliki daya juang tinggi.
Sepintas lalu ulama hanya terlihat sekedar sebagai
pembina pesantren. Akan tetapi peranannya dalam sejarah cukup militan.
Sekalipun banyak penulis sejarah yang menyingkirkan namanya dalam karyanya,
namun Thomas Stamford Raffles menuliskan betapa besar peranan ulama dalam
menunjang para Sultan melawan Belanda. Antara lain dinyatakan: “and they
become the most dangerous instrument in the hands of the native authorities
opposed to the Dutch interest” (dan mereka [Ulama-pen.] menjadi aparat yang
sangat berbahaya di tangan penguasa-penguasa pribumi dalam melawan kepentingan
Belanda). Selanjutnya dikatakan pula: The Mahometan priests have almosth
invariably been found most active in every case of insurrection
(Ulama-ulama selalu tidak berubah dan selalu dijumpai dalam setiap
pemberontakan).
Data sejarah di atas memberikan ilustrasi kepada kita
tentang betapa besarnya peranan ulama dalam setiap perlawanan bersenjata. Tidak
hanya terlihat sekedar sebagai pembina pesantren, tetapi telah diakui oleh
Thomas Stamford Raffles bahwa ulama merupakan partnership para pengusaha
dalam melawan usaha perluasan kekuasaan asing di Indonesia. Dengan demikian,
ulama memegang peranan multifungsi, termasuk bidang politik dan militer.
Ditinjau dari angka penerbitan buku Raffles di atas
(1817), seperti memberikan kesan bahwa jumlah ulama saat itu sangat banyak.
Tetapi nyatanya jumlah ulama kurang lebih 50.000 (lima puluh ribu), yang
merupakan sepersembilan belas dari seluruh jumlah penduduk. Dengan demikian,
tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa ulama mempunyai peranan penting dalam
pembangunan militer. Kapasitas pasukan santrinya telah mensuplai kepentingan
politik, perdagangan dan agama. Serta akibat lain dari peranan yang
didudukinya, menjadikan Al Quran dan Sunnah sebagai sumber norma dalam
memerintah seluruh kegiatan rakyat.
Kelanjutan dari pengaruh ulama yang demikian luas tersebut
tidak hanya terbatas di bidang politik dan militer saja, melainkan meluas juga
terhadap ekonomi yang telah meninggalkan bekas-bekasnya atas the ecology of
economic activities. Pasar tidak hanya merupakan kegiatan jual beli barang
dagangan, tetapi juga dijadikan arena dakwah, sehingga kegiatan pasar sangat
dipengaruhi oleh hari-hari besar Islam. Jadi, Islam sebagai agama yang
disebarkan di Indonesia oleh para ulama, memiliki peran yang positif dalam
menunjang kegiatan perekonomian dan perdagangan. Menurut Clifford Geertz, hal
ini tidak pernah dikerjakan oleh Hindu Jawa yang menganggap rendah terhadap
dunia.
Kalau kita perhatikan data di atas ini, jelaslah
kepentingan Belanda di Indonesia mendapatkan rintangan dari ulama, terutama di
bidang perdagangan. Belanda melihat kegiatan umat Islam yang mempunyai
dwifungsi sebagai pedlar missionaries (da’i dan pedagang). Akibatnya,
usaha perdagangan Belanda menghadapi ancaman dari umat Islam. Tidaklah
mengherankan kalau that there too Islam was used as political weapon, in
this case against Calvinism of the Dutch Company (Islam dijadikan sebagai
senjata politik, dalam hal ini melawan Calvinisme VOC).
1.2 Pemberontakan Santri Abad ke-19
Bukanlah mudah bagi belanda untuk memperkokoh
penjajahannya. Seluruh masa penjajahannya (350 tahun) tidaklah pernah suci,
disetiap abad, pahlawan-pahlawan dari suku-suku bangsa Indonesia, yang didorong
oleh rasa iman dan agamanya untuk menentang penjajahan itu. Timbullah beberapa
pahlawan dalam abad ketujuh belas, yang menjadi kemegahan bagi sejarah
suku-suku bangsa Indonesia, terutama dalam agama Islam. Karena kalau kita
kembali membongkar sejarah itu dengan tenang dan penuh perasaan, akan
kelihatanlah bahwa pada lahirnya adalah perebutan kekuasaan dalam ekonomi dan
politik, tetapi pada batinnya, tenaga pendorong bagi timbulnya perlawanan yang
hebat itu ialah agama.
Di tambah lagi dengan kondisi pesantren yang tadinya
sebagai lembaga pendidikan, berubah menjadi a center of anti ducth sentiment
(sebagai pusat pembangkit anti Belanda). Dalam abad ini saja Belanda
menghadapi empat kali pemberontakan santri yang besar. Pertama, perang
Cirebon (1802-1806). Kedua, perang Diponogoro sebagai peperangan
terbesar yang dihadapi pemerintah kolonial Belanda di Jawa (1825-1830). Ketiga,
perang Padri di Sumatra Barat (1821-1838). Keempat, di Aceh sebagai
pemberontakan santri yang terpanjang atau terlama (1873-1908). Belanda
menghadapi pemberontakan santri Aceh sampai akhir kekuasaannya, di mana para
ulama tidak pernah absen melancarkan gerilya hingga tahun 1942.
Perlawanan-perlawanan yang dilakukan untuk membebaskan
diri dari pengaruh Belanda tidak pernah putus. Akan tetapi, usaha-usaha itu
selalu gagal karena beberapa sebab, di antaranya: (1) Belanda diperlengkapi
dengan organisasi dan persenjataan modern sementara kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia masih bersifat tradisional, (2) penduduk Indonesia sangat tergantung
kepada wibawa seorang pemimpin, sehingga ketika pemimpinnya tertangkap atau
terbunuh praktis perang atau perlawanan terhenti dengan kemenangan di pihak
Belanda, (3) tidak ada kesatuan antara kerajaan-kerajaan Islam dalam melawan
Belanda, karena (4) Belanda berhasil menerapkan politik adu domba, dan (5)
dengan politik adu domba itu, banyak penduduk pribumi yang ikut memerangi
rekan-rekannya sendiri.
Partisipasi ulama dalam perlawanan bersenjata atau
Perang Sabil tidak hanya pada abad ke-19 saja, tetapi sejak kedatangan Portugis
pada 1511. harry J, Benda menyatakan bahwa partisipasi ulama tersebut
berlangsung selama empat abad. Oleh karena itu, Belanda mencoba meletakkan
sistem baru bagaimana mengeliminasi peran ulama yang sangat dominan itu.
Pada mulanya Belanda menempuh cara menghancurkan ulama
dan Islam dengan melancarkan politik agama non Islam. Akan tetapi, sekali pun
gerakan ini dibiayai oleh pemerintah, namun ternyata hanya mampu menarik
suku-suku asing dari agamanya.
Latar belakang semangat pemberontakan oleh pasukan
umat Islam yang dipimpin oleh para ulama ini digambarkan oleh K. H. Saifuddin
Zuhri dalam bukunya antara lain sebagai berikut.
“Tuan jangan tergesa-gesa menyalahkan ulama-ulama
Indonesia di zaman itu yang menurut ukuran Tuan terlalu dilandasi oleh
fanatisme yang meluap-luap. Ambillah contoh, misalnya tentang sikap mereka
mengharamkan dasi, pantalon, dan topi serta lain-lain atribut orang barat. Akan
tetapi Tuan janganlah lupa, bahwa orang-orang Belanda colonial serta
pemerintahannya, demikian pula kolonialisme barat pada umumnya, mereka telah
menghancurkan segala-galanya milik kita, tanah air kita, pemerintahan nasional,
harta kekayaan kita, martabat kita, cita-cita kita, dan terutama lagi agama
kita. Yang harus disimpulkan adalah, bahwa sikap ulama tersebut (sikap fanatis)
di atas semata-mata merupakn perlawanan yang reaktif sebagai orang yang dijajah
dan diperlakukan tidak adil. Perlawanan itu bersifat abadi selama pihak sana
(colonial) tidak merubah sikapnya.”
1.3 Membangkitkan Gerakan Nasional
Waktu yang tepat untuk mengadakan perubahan akhirnya
datang pula struktur penjajahan yang ingin menciptakan Pax Neer Landica telah
menemukan efek samping yang menguntungkan umat Islam Indonesia. Penindasan yang
diderita telah melahirkan persamaan nasib. Islam bagi bangsa Indonesia identik
dengan tanah air.
Para ulama mencoba menggerakkan masyarakat dengan
melalui waktu-waktu yang sangat menguntungkan dalam pendidikan. Dicobanya
mendidik masyarakat supaya motifasinya bangkit kembali dibidang ekonomi perdagangan.
Untuk keperluan ini H. Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (16 oktober
1905). Setahun kemudian dirubahnya menjadi Sarekat Islam.
1.4 Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama
Dutch Islamic Policy ciptaan Snouck yang mencoba
menjauhkan umat Islam dari pengaruh politik, ternyata gagal. Akibat sistem
politik yang diarahkan untuk mematahkan peranan umat Islam dalam bidang
politik, ekonomi dan sosial, ditambah dengan dilancarkannya Politik
Pengkristenan dari imperialis Belanda menyebabkan respons dari umat Islam yang
berbentuk usaha perbaikan agama, ekonomi, politik dan sosial.
Di bawah situasi yang demikian, K. H. Ahmad Dahlan
mengadakan perubahan sistem pendidikan bangsa Indonesia. Masa perlawanan
bersenjata telah berlalu. Demikian pula system menyelenggarakan pendidikan
dengan cara sederhana sambil berperang perlu diakhiri. Untuk merealisasikan
gagasan ini diperlukan wahana, yaitu Muhammadiyah (18 November 1912) yang
didirikan di Yogyakarta. Pesantren yang banyak didirikan dalam masa perang,
perlu ditingkatkan dengan system pendidikan yang teratur.
Kalangan ulama Jawa Timur memandang perlu untuk
meningkatkan organisasi Taswirul Afkar (1914). Dari hasil reorganisasinya
dibentuklah Nahdlatul Ulama (1926). NU adalah gerakan dari ulama-ulama Islam di
Indonesia yang dipelopori oleh K. H. Hasyim Asy’ari dari Jombang, Jawa Timur.
Sekalipun NU mempertahankan “ortodoksi-ortodoksi” abad pertengahan, namun dalam
konteks membangkitkan semangat umat Islam, gerakan ini berhasil. Melalui
lembaga-lembaga pendidikan pondok pesantren, NU berhasil menanamkan semangat
dan watak antikolonialisme. Dengan berpegang teguh pada ajaran Islam dan
memelihara semangat ahlus sunnah wal jamaah, NU berhasil menggalang
persatuan dan kesatuan umat Islam Indonesia.
2. Usaha-usaha Penjajah dalam Menghadapi Kekuatan Umat
Islam pada Masa Pendudukannya
2.1 Masa Penjajahan Belanda
2.1.1 Dutch Islamic Policy
Sejak 1889 taktik Belanda menghadapi ulama dan umat
Islam berubah. Perubahan kebijaksanaan politik ini diletakkan dasarnya oleh
Prof. Dr. Snouck Hurgronje, yang diangkat sebagai Adviseur voor Inlandsche
Zaken. Dari hasil risetnya baik selama di Makkah maupun di Aceh, diakuinya
bahwa ulama dan santri merupakan kelompok kecil yang sangat mempengaruhi
pendangan politik rakyat dan raja-raja atau sultan-sultan di Indonesia.
Melihat perkembangan ulama yang demikian ini, Snouck
mencoba memberikan diagnosis yang dijadikan Dutch Islamic Policy. Dia
melihat ulama dan santri itu sendiri tidak berbahaya, sekalipun mereka berada
di desa-desa dekat dengan para petani. Oleh karena itu diciptakan diagnosis
“Menciptakan ulama dan santri di desa-desa menjadi tuna politik
(depolitisasi).” Pemerintah tidak perlu takut kepada ulama dan santri, asal
mereka dijauhkan dari propaganda politik, baik dari kegiatan politik dalam
negeri maupun luar negeri.
Untuk merealisasikan diagnosis tersebut, dianjurkan
supaya pemerintahan menjalankan dwikebijaksanaan (twin policies), yakni
menganjurkan adanya toleransi agama, dan menindak dengan kekerasan terhadap
ulama yang masih melanjarkan kegiatan politik dan militer.
2.1.2 Mematahkan Ulama Melalui Tanam Paksa
Untuk dapat mencapai target diagnosis tersebut,
Belanda memerlukan kawan. Snouck menasehatkan supaya pemerintah menggunakan
tenaga Pangreh Praja. Keadaan Jawa memungkinkan untuk tujuan tersebut. Belanda
telah berhasil melumpuhkan basis suplai ulama dan santri. Pengreh Praja yang
merasa mendapatkan keuntungan dari tanam paksa, dengan menyalahgunakan
kekuasaan telah ikut memperluas dan meratakan kemiskinan rakyat.
Ulama dan santri yang bermata pencaharian sebagai
petani akan mudah dipatahkan dengan penguasaan atas tanah. Tanam paksa
benar-benar telah melumpuhkan rakyat. Pemerintah takut terhadap ulama dan
santri Jawa Barat yang memberontak selama mereka mampu menguasai tanah sawahnya.
Karena itu pelaksanaan tanam paksa harus diperkeras dan diperlama. Akibatnya,
kemelaratan benar-benar menindih kehidupan petani muslim di Jawa Barat.
Rusaknya Mental Penguasa Pribumi
Petani sebagai basis suplai yang telah rusak
kehidupannya, tidak mendapatkan pembelaan dari Pangreh Praja saat itu.
Raja-raja tidak mampu berbuat untuk menolong rakyat. Mereka telah kehilangan
syari’at Islam sebagai landasan hukum dasarnya. Selanjutnya, Ronggo Warsito
memberikan gambaran tentang sikap penguasa pribumi setelah lepas hubungannya
dengan ulama. Tingkah laku mereka mengejar kemewahan, menambah merajalelanya
penderitaan rakyat. Kondisi yang demikian digambarkan oleh Harry J. Benda:
Bangsawan Indonesia telah kehilangan tambatan budaya dan politik mereka sebagai
akibat penaklukan Belanda.
2.1.3 Depolitisasi Ulama Desa
Kedudukan ulama benar-benar menyedihkan. Ulama desa
yang tuna politik tidak tahu tentang struktur pemerintahan di atasnya. Para
ulama desa dan pengikut-pengikutnya diputuskan hubungannya langsung dengan
kalangan priyayi atau bangsawan di atasnya. Mereka tidak memiliki pengetahuan
apapun tentang struktur kenegaraan.
Berita Nahdlatul Ulama dalam hal ini memberikan
gambaran betapa parahnya orientasi ulama saat itu, antara lain: “Para ulama
kita satu dengan yang lainnya tak kenal mengenal atau kurang rapat hubungannya
hanya selaku kenalan saja. Tiada sampai pada bersama-sama kerja untuk agama dan
umat umum. Bahkan kadang-kadang ada kalanya yang diantara mereka
sembur-semburan antara satu dengan yang lainnya, dikarenakan berselisih dalam
masalah atau sebab lain. Sebagian dari mereka tidak mengetahui keadaan kehinaan
umat Islam yang diluar pagar rumahnya.”
Ilustrasi di atas memberikan gambaran betapa parahnya
orientasi ulama saat itu sebagai korban dari depolitisasi ulama. Gambaran ini
terjadi di Jawa. Bagaimana halnya dengan ulama di Aceh yang tidak mau menyerah
kalah terhadap pemerintah kolonial? Snouck menganjurkan untuk dilancarkan
“kebijaksanaan yang tanpa kenal belas kasih terhadap para ulama”. Belanda
membuat ulama tidak mungkin lagi menjalankan fungsi kepemimpinannya dengan cara
melancarkan serangan dan gangguan yang meletihkan. Selain itu, juga menggunakan
“ulama bayaran”. Ulama macam ini dibelinya dan dipersenjatainya, dan ditugaskan
untuk menyerang ulama-ulama militan. Sejarah mencatat ulama bayaran ini adalah
Teuku Uma.
Memang sejarah mencatat hasil dari aggressive
policy Snouck yamg ditunjang dengan kekuatan militer, berhasil menggantung
beberapa ulama. Tetapi tidak demikian halnya dengan ideologinya. Keadaan
semacam ini pun sama dengan yang di Jawa. Para ulama berusaha dengan melalui educational
opportunity dan social mobility untuk tetap struggle for real.
2.2 Masa Penjajahan Jepang
Dalam menghadapi umat Islam, Jepang
sebenarnya mempunyai kebijaksanaan politik yang sama dengan Belanda. Hanya
dalam awal pendekatannya, Jepang memperlihatkan sikap bersahabat, karena Jepang
berpendirian bahwa umat Islam merupakan powerful forces dalam menghadapi
sekutu. Latar belakang sejarah umat Islam yang anti imperialisme Barat,
memiliki kesamaan tujuan dengan perang Asia Timur Raya. Sikap umat Islam yang
yang demikian itu akan dimanfaatkan oleh pemerintahan kolonial Jepang.
Tetapi tentara Jepang tidak
menghendaki adanya parpol Islam. Mereka lebih menyukai hubungan langsung dengan
ulama daripada dengan pemimpin parpol. Oleh karena itu, Jepang mengeluarkan
maklumat pembubaran parpol. Dalam menghadapi tentara Jepang, umat Islam
bertindak untuk sementara menyetujui pembubaran tersebut dengan mengeluarkan
maklumat juga.
Tindakan Jepang ini jelas
menunjukkan rasa takutnya terhadap Islam sebagai partai politik. Tapi di suatu
pihak, Jepang menyadari potensi umat Islam dalam menunjang tujuan perang.
Sekalipun Jepang tidak menyetujui dan tidak menyukai berhubungan dengan
pemimpin parpol Islam, namun Jepang memerlukan para ulama untuk membentuk wadah
organisasi baru untuk membina ulama dan umat Islam.
Untuk tujuan di atas dibentuklah
Kantor Urusan Agama (KUA) dengan ketuanya kolonel Horie yang telah dipersiapkan
konsepnya sebelum Jepang mendarat di Indonesia. Karena begitu Belanda menyerah
tanpa syarat pada 8 maret 1942, pada akhir maret 1942 pembentukan KUA tersebut
telah siap. Selain itu dibentuk pula Tiga A (Nippon Pemimpin, Pelindung, dan
Cahaya Asia). Dengan adanya Tiga A ini, berdasarkan konsep Shimizui,
dibentuklah Persiapan Persatuan Umat Islam (PPUI).
Pada tanggal 4 September 1942
melalui Tiga A diadakan musyawarah pertama di Hotel des Indes. Hasil dari
musyawarah ini, umat Islam menghidupkan kembali MIAI (Majelis Islam A’la
Indonesia) yang berdiri tahun 1938 dan
memilih W. Wondoamiseno sebagai ketua. Sekalipun Jepang sangat memerlukan
bantuan umat Islam tetapi timbul rasa takut terhadap persatuan dan kebangkitan
umat Islam.
Mayor Jendral Okazaki lebih
menekankan perhatian pemerintahannya kepada ulama daripada MIAI. Dengan cara
ini diharapkan dapat mematikan MIAI yang berkedudukan di Jakarta. Usaha di atas
ini jelas gagal. Betapa mungkin KUA dapat diperalat untuk menghancurkan MIAI.
Orang Jepang harus menyadari bahwa
Islam bukanlah hanya sekadar agama, tetapi merupakan keseluruhan way of life
yang telah menyebar ke segenap lapisan masyarakat. Umat Islam Indonesia
telah lama berjuang menentang imperialisme Barat. Hal ini sesuai dengan dasar
mengapa umat Islam dapat bekerja sama dengan Jepang. Untuk memelihara kerja
sama ini hendaknya kita saling menghormati agama kita masing-masing. Perbedaan
agama tidaklah menjadi penghalang perbedaan tersebut.
Sebenarnya Jepang sendiri adalah
imperialis. Tetapi bagi umat Islam saat itu tidak ada pilihan lain kecuali
menampakkan sikap yang demikian itu. Sebaliknya Jepang juga tidak ubahnya
dengan Belanda berusaha untuk menghancurkan Islam. Tetapi kondisi peperangan
yang menuntut bantuan stabilitas dalam negeri, memaksa Jepang untuk mendekati
umat Islam. Harry J. Benda menyatakan melalui propaganda Jawa Baru, umat Islam
membangkitkan Pan-Islamisme.
2.2.1 Mengawasi Pesantren
Tentara Jepang banyak mewarisi hasil karya belanda,
kebijaksanaan politik Islamnya Belanda, dicoba direvisi sedikit. Perang dunia
II menuntut Jepang untuk menggerakkan massa Islam berpihak kepadanya. Untuk itu
diletakkanlah Nippon's Islamic Grass Roots Policy (kebijaksanaan politik Jepang
terhadap kalangan rakyat jelata Islam). Sasarannya adalah pesantren, desa, dan
ulama, dan menjadikan ulama menjadi pemimpin sipil terdepan yang berpartisipasi
menciptakan ketentraman dan kewaspadaan. Penguasa kepada ulama berarti bahwa
Jepang menguasai desa dan pesantren.
Untuk melaksanakan policy di atas, Jepang menggunakan
media pendidikan sebagai alat propagandanya. Para ulama perlu ditingkatkan
partisipasinya dengan diadakan semacam kursus kilat, tujuannya untuk
meningkatkan kesadaran ulama terhadap situasi dunia dan semangat ulama supaya
dapat sepenuhnya membantu Jepang.
Inilah sebagai pelaksanaan Islamic Gross-roots
policy-nya jepang. Di satu pihak Jepang menolak mentah-mentah eksistensi parpol
Islam, tetapi di lain pihak Jepang lebih menyukai mempolitikkan ulama. Dengan
cara ini Jepang berharap dapat menyalurkan potensi laten pesantren kepada
kepentingan perangnya.
2.2.2 Pembentukan Pembela Tanah Air (PETA)
PETA dibentuk pada tanggal 10 September 1943 oleh
Gatot Mangkupraja kawan Bung Karno. "Tetapi harus diingat bahwa Jepang
bagaimanapun juga adalah imperialis". Dasar inilah yang membuat
pembentukan PETA lebih bersifat politik daripada ketentaraan. Pembentukan PETA
bukan hanya karena permohonan Gatot Mangkupraja, ataupun usulan milisi dari R.
Sutarjo, karena Jepang sendiri telah memiliki konsep tentang pembentukan
tentara pribumi.
Untuk merealisasikan tentara pribumi ini diserahkan
pada Beppen (Seksi khusus, dinas intelijen). Segera Beppan membentuk Jawa Bo-ei
Giyugun Kanbu Renseitai (Korps latihan perwira pasukan sukarela pembela tanah
air Jawa) di Bogor. Disinilah ulama dilatih sebagai calon daidanco (komandan
batalion).
Untuk mendapatkan dukungan lebih
banyak dari umat Islam, maka dikatakan bahwa tugas peta sebagai tugas suci. Daidanki
(Bendera peta) dengan lambang bulan bintang ini dijelaskan oleh Kan Po sebagai
lambang yang dihormati oleh rakyat di Jawa.
Tujuan penguasa militer Jepang
sebenarnya tidak akan menciptakan kesatuan, tetapi hanya menginginkan kerja
sama lebih mudah dengan umat Islam Indonesia.adapun usaha Jepang bertujuan; 1.
Menanamkan semangat Nippon, 2. Menumbuhkan loyalitas ulama terhadap Jepang, 3.
Meyakinkan kebencian ulama terhadap sekutu, 4. Perang asia Timur Raya adalah
perang suci, 5. Menambahkan keyakinan bahwa Jepang dan Indonesia adalah satu
nenek moyang dan satu ras.
Tujuan di atas menumbuhkan sikap
takut Jepang akan timbulnya kesatuan umat Islam. Peta selain diharapkan
bantuannya, juga disiapkan untuk memecah belah struktur organisasinya. Namun
ulama masih sanggup memanfaatkan Peta untuk membangkitkan semangat
keprajuritan. Usaha ulama inilah yang menjadikan peta sebagai wadah pembibitan
pemimpin TNI nanti di kemudian hari.
Pemberontakan Santri Peta
Selain menghadapi sekutu, Jepang juga mempersiapkan
diri agar dapat mematahkan potensi Islam di Jawa Barat, yang ternyata berakar
di desa-desa. Melalui Romusha (prajurit kerja) dan menyerahkan padi, Jepang
memperkirakan akan dapat melumpuhkan potensi umat Islam. Ternyata tindakan
Jepang dijawab oleh umat Islam dengan adanya pemberontakan santri di Singaparna
yang dipimpin oleh Kiai Zainal Musthafa (NU), yang bercita-citakan menegakkan
kebahagiaan rakyat di dalam negara Islam yang bebas dari kekuasaan asing.27
Pemberontakan ini secara fisik berhasil dipadamkan, tetapi tiga bulan kemudian
pecah lagi pemberontakan santri yang lebih meluas yang meliputi kecamatan
Lohbener dan kecamatan Simpang. Tentara dan polisi Jepang membasmi
pemberontakan tersebut. Pemimpin-pemimpin berhasil di tembak mati.
Cita-cita pemberontakan tersebut menginginkan tegaknya
kebahagiaan dan negara Islam. Jepang pun segera memberikan janji kemerdekaan
yang sejalan dengan cita-cita tersebut. Perdana Menteri dalam sidang Teikoku
Gikai ke-85 di Tokyo tanggal 7 september 1944 mengumumkan janji kemerdekaan.
Berita ini disampaikan secara resmi kepada rakyat Indonesia dengan menyebutkan
gambaran pembentukan "negara Indonesia yang berdasarkan Islam".
Kaum politis Islam setelah pemberontakan terjadi,
mereka sibuk dengan menyambut perkenan kemerdekaan. Tetapi Jepang lupa mengulur
waktu pelaksanaan janji. Bagi yang menantikan sekalipun baru satu tahun,
dirasakan terlalu lama. Apalagi dilakukan tindakan pemerasan yang dilakukan
diluar peri kemanusiaan.
Tepat satu tahun setelah pembentukan santri sukamah,
di Blitar timbul pemberontakan Peta yang dipimpin oleh Supriyadi (14 februari
1945). Adapun motivasi yang mendorong pemberontakan tersebut yaitu: 1. Tidak
tahan melihat penderitaan rakyat, 2. Tidak tahan melihat kesombongan dan
kesewenangan Jepang, 3. Janji kemerdekaan itu omong kosong.
2.2.3 Pembentukan Masyumi
Pengaruh MIAI cukup membahayakan. MIAI masih sanggup
menunjukkan kemampuannya menggerakkan massanya, berbeda dengan partai sekuler
lainnya yang sudah tidak mampu menampakkan potensi massanya lagi. Oleh
karenanya Jepang mencoba menghilangkan pengaruh MIAI dengan membentuk Majelis
Syura Muslimin Indonesia, sekaligus dengan pembentukan organisasi baru ini
bertujuan untuk menurunkan pimpinan MIAI dengan mengangkat Hasyim Asyari
sebagai ketua Masyumi. Jepang mengharapkan timbulnya perpecahan di kalangan
umat Islam. Tetapi kenyataannya perkembangan Masyumi sangat cepat kontras
sekali dengan Putera dan Hokokai.
Sejak awal Jepang telah mencoba untuk menetralisir
Masyumi dari kegiatan politik. Karena itu pimpinan Masyumi disumpah untuk
membebaskan dirinya dari kegiatan politik apapun. Dengan demikian Masyumi dapat
menjadi wadah yang menjauhkan umat Islam dari politik. Usaha ini juga mempunyai
latar belakang lain, yaitu agar Jepang mudah mematahkan basis suplai pesantren.
BAB III
KESIMPULAN
- Peranan
Ulama dalam Usaha Melawan Pengaruh Penjajahan di Indonesia
Kehadiran ulama dalam masyarakat
telah diterima sebagai pelopor pembaharuan, dan pengaruh ulama pun semakin
mendalam setelah berhasil membina pesantren. Sepintas lalu ulama hanya terlihat
sekedar sebagai pembina pesantren, tetapi peranannya dalam sejarah cukup
militan. Ulama merupakan partnership para pengusaha dalam melawan usaha
perluasan kekuasaan asing di Indonesia. Dengan demikian, ulama memegang peranan
multifungsi, termasuk bidang politik dan militer. Hingga tiba pada suatu masa,
para ulama mencoba menggerakkan masyarakat dengan melalui waktu-waktu yang
sangat menguntungkan dalam pendidikan. Dicobanya mendidik masyarakat supaya
motifasinya bangkit kembali dibidang ekonomi perdagangan.
- Usaha-usaha
Penjajah dalam Menghadapi Kekuatan Umat Islam pada Masa Pendudukannya
- Dutch
Islamic Policy, salah
satunya yaitu dengan menciptakan ulama dan santri di desa-desa menjadi
tuna politik (depolitisasi). Politik ini dilakukan oleh penjajah Belanda.
- Mematahkan
ulama melalui tanam paksa adalah juga salah satu usaha penjajah Belanda,
karena ulama dan santri yang bermata pencaharian sebagai petani akan mudah
dipatahkan dengan penguasaan atas tanah. Walau usaha ini cukup berhasil
melumpuhkan perekonomian mereka, namun kekuatan perlawanan justru semakin
menguat.
- Beberapa
usaha yang dilakukan oleh penjajah Jepang adalah dengan mengawasi
pesantren, menghambat tumbuhnya partai politik Islam, dan mengimbanginya
dengan mendirikan organisasi-organisasi bentukan Jepang.
DAFTAR PUSTAKA
HAMKA. 1981.
Sejarah Umat Islam IV. Jakarta: Bulan Bintang
Mansur
Suryanegara, Ahmad. 1996. Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia. Bandung: Mizan
Ratu
Perwiranegara, Alamsjah. 1987. Islam dan Pembangunan Politik di Indonesia. Jakarta:
CV Haji Masagung
Yatim,
Badri. 1991. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Jakarta:
Rajawali Pers
Zuhri,
Saifuddin. 1979. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia.
Bandung: Al Ma’arif
1 Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah:
Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1996) hal. 235.
7 Prof. Dr. HAMKA, Sejarah Umat Islam IV
(Jakarta: Bulan Bintang, 1981) hal. 270.
8 Dr. Badri Yatim, MA, Sejarah Peradaban Islam:
Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hal. 245.
10 Ahmad Mansur Suryanegara, op. cit., hal. 240.
12 K. H. Syaifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam
dan Perkembangannya di Indonesia (Bandung: Al Ma’arif, 1979) hal. 458-460.
13 Ahmad Mansur Suryanegara, op. cit., hal. 244.
14 H. Alamsjah Ratu Perwiranegara, Islam dan
Pembangunan Politik di Indonesia (Jakarta: CV Haji Masagung, 1987) hal.
186.
15 Ahmad Mansur Suryanegara, op. cit., hal. 241.
22 Dr. Badri Yatim, MA, op. cit., hal. 262.
23 Ahmad Mansur Suryanegara, op. cit., hal. 258